25 Februari 2011

23, Sadomasokis, & Saya Ingin Merayakannya!

Twenty-three is the ninth prime number, the smallest odd prime that is not a twin prime. Twenty-three is also the fifth factorial prime, the third Woodall prime. It is an Eisenstein prime with no imaginary part and real part of the form 3n − 1 -wikipedia.org-
dalam bilangan integer, selepas angka 22 maka angka berikutnya adalah angka 23.
dalam kehidupan, selepas suatu makhluk melewati usia ke-22 tahun masehi maka makhluk tersebut akan memasuki fase usia 23 tahun masehi.
contohnya saya ini, seorang anak manusia yang tiba-tiba saja sudah masuk ke usia 23 tahun.

Ya,
Saya termasuk manusia yang sangat beruntung karena masih diberikan berkat oleh Yang Kuasa untuk menikmati hari-hari yang sebenarnya masih sama saja seperti hari-hari kemarin, akan tetapi saat ini usia saya sudah secara "resmi" bertambah untuk mengarungi hari-hari yang nampak biasa tersebut.
Kenapa resmi? yah karena sebenarnya, tiap hari usia saya juga bertambah, bahkan tiap detik pun dihitung dalam pertambahan usia kita kan?
Resmi itu berlaku contohnya ketika saya nanti mengisi sebuah formulir dari suatu institusi baik pemerintahan ataupun asing yang di dalamnya tertera sebuah box/pertanyaan yang menanyakan berapa usia saya saat ini. Tentu mulai hari ini saya harus terbiasa menuliskan angka 23 jika menghadapi suatu situasi yang berkenaan dengan contoh seperti tadi.

Dalam mengarungi fase kehidupan dari angka 22 tahun menuju 23 tahun, saya boleh katakan ini termasuk fase hidup paling sadomasokis yang pernah saya tempuh dalam kehidupan saya.
Mungkin pengandaian sadomasokis terlalu berlebihan tapi jikalau Anda mengalami semua kejadian-kejadian hidup yang saya alami dalam 1 tahun ke belakang, mungkin Anda akan berkata "ini bukan sadomasokis, ini sih brutality!" atau malah Anda akan tetap berkata "berlebihan...".
Jelas Anda tidak akan mungkin mengalami kehidupan seperti yang saya alami.
Tentu saja tantangan hidup yang diterima setiap orang berbeda-beda, tidak mungkin juga untuk saling diperbandingkan karena memang setiap orang tentu ditempatkan ke dunia ini dengan tujuan yang berbeda-beda dari Yang Maha Kuasa.
Pembenaran versi orang bijak ada yang berkata:
Tidak mungkin Yang Maha Kuasa memberikan tantangan (atau cobaan) bagi kita yang lebih berat dari kemampuan kita.
Saya cukup jarang bermonolog dengan Yang Maha Kuasa melalui doa, saya lebih sering membathin. Bukankah ini termasuk bentuk komunikasi juga dengan Yang Maha Kuasa? Saya yakin Yang Maha Kuasa pasti mendengar kata bathin saya dari semenjak saya orok sampai sekarang dan juga sampai dalam kekekalan suatu saat nanti. Mungkin Yang Maha Kuasa tersenyum (atau datar) ketika saya membathin "Ya Tuhan, ini apalagi sih?" atau "Ya Tuhan, dirinya cantik sekali pun juga payudaranya ranum" atau "Ya Tuhan, koq bisa BB saya dicolong di rumah ibadah stadion GBK?" atau "Ya Tuhan, vodka ini enaknya kebangetan" dan juga berbagai macam kata bathin lain-lainnya baik berupa harapan, keluhan, lenguhan, serapah, dll.

Saya kadang berpikir, apa iya orang bijak itu sungguh bijak? Parameter disebut bijak itu sebenarnya seperti apa? Kenapa bisa seseorang disebut bijak jikalau dia memberi tahu kepada saya bahwa cobaan yang saya alami itu tidak lebih dari tantangan yang sesuai dengan kemampuan saya?? Toh, saya memang berpikiran tantangan dan cobaan yang saya hadapi ini amat sangat pantas disebut sadomasokis! Tentu makna sadomasokis ini jangan dimaknai secara harfiah yang berarti "give or receive heavy pain and humiliation (in form of sex play)", akan tetapi lebih mengarah kepada:
"Sadomasochistic... The Hardest Things I've Done and I've Ever Experienced!"
Yap,
di usia 22 tahun lalu:
saya akhirnya lulus dari kampus,
saya patah hati ampe sekian kali,
Pembimbing Tugas Akhir saya meninggal dunia saat saya masih membutuhkan nasihat-nasihat dari beliau dalam menghadapi kehidupan paska-kampus,
saya mesti menyesuaikan diri dengan keadaan di rumah yang sudah saya tinggal 5 tahun serta tidak paham dengan tingkat pemikiran saya sekarang, (dan mungkin orang-orang di rumah juga ga ngerti kenapa bisa terjadi gap pemikiran yang begitu jauh dengan saya -__-a, apakah ini efek doktrinasi yang saya dapatkan selama OSKM ITB, PPAB MTI, dan lain-lainnya selama saya beraktivitas di kampus? jelas iya banget deh :D )
Dan bagi saya yang paling menantang adalah:
saya berhadapan dengan rimba dunia dalam berbagai bentuk yang amat sangat tidak terbayangkan kegilaannya dan kekacauaannya serta dalam menjalaninya menguras emosi baik dalam bentuk amarah maupun haru-biru (cuihh :D) yang sama sekali tidak terkurikulum layaknya kehidupan silam yang tertata oleh sistem kurikulum yang sudah saya jalani sejak playgroup hingga bangku kuliah.

Tentu akan jadi sebuah memoir curahan hati yang mengguncang nalar dan memukau iman, jikalau saya jabarkan satu persatu apa saja detil dari pengalaman yang katanya saya sih sadomasokis itu. Maksud tulisan ini juga bukan membeberkan pengalaman pribadi saya yang tentu saja tidak sedramatis pengalaman Alanda Kariza yang mesti berjibaku memperjuangkan "keadilan" terhadap ibunya yang terjebak dalam kubangan bernama Century. Sungguh maksud tulisan ini tidak lebih merupakan perayaan saya pribadi terhadap segala yang terjadi pada saya selama 1 tahun ke belakang.

Layaknya seorang yang beranjak sembuh dari kanker yang menggerogotinya, seperti itulah perasaan diri saya saat mencapai titik ini sekarang. Titik dimana usia saya resmi di angka 23 tahun. Benar adanya perasaan sadomasokis itu tentu membuat diri saya merasa sakit, tapi rasa sakit ini telah membuat saya menjadi lebih "manusia". Terus yang kemaren saya bukan manusia dong? Tentu saja saya tetaplah manusia, hanya saja ada fase dimana saya bertindak benar-benar tanpa rasio. Terlalu mengikuti keinginan primordial belaka yang dilandasi ego untuk bertindak semaunya tanpa memperhatikan lingkungan di sekitar. Bagi saya, itu fase dimana jiwa saya sebagai manusia telah menghilang. Tentu ini merupakan ironi ketika saya masih menjalankan kehidupan, tetapi saya tidak menjalaninya secara utuh. Langkah saya berat.
Ya, saya perih ketika saya sebagai manusia hanya menjalani kehidupannya untuk sekedar bertahan hidup belaka.
Tanpa jiwa.
Hanya raga yang bekerjasama dengan otak dengan segala keterbatasannya, mencoba untuk sekedar mempertahankan fungsi-fungsinya agar tetap bekerja.
Mungkin supaya jiwa itu bisa kembali.
Tentu saja itu kemungkinan yang paling bisa saya terima, toh karena saya membenarkan bahwa saya merasa telah menjadi "manusia" lagi sekarang.
Saya yang mengenali diri saya sendiri, anehkah jika saya Tidak mengenal diri saya sendiri?
Menurut saya aneh, karena ini adalah sebuah fase hidup yang tidak semua orang pernah mengalaminya. Apakah Anda pernah mengalami fase dimana Anda tidak lagi bisa percaya dengan apa yang Anda lakukan? 
Apakah Anda pernah merasa kebingungan bahwa Anda sedang berada dalam titik nadir, lalu Anda sadar bahwa Anda tidak lagi tahu apa keadaan yang terjadi di sekitar Anda?
Lalu Anda sadar, bahwa rentetan kejadian yang Anda alami itu merupakan manifestasi dari segala penolakan Anda menerima bahwa terkadang hidup ini emang kayak tai!
Dan Anda yang sudah terlanjur bau tai, tidak lagi mengenal bau diri Anda sendiri yang dulu Anda kenali.

Dan terlepas dari segala macam pembenaran yang tentu saja saya tuangkan di tulisan ini, saya ingin merayakan kenyataannya bahwa saya sudah mengalami banyak sekali pahit dan juga sedikit manis dari kehidupan selama setahun ke belakang ini.
Saya ingin merayakan bahwa di usia yang (masih) 23 tahun ini saya sudah bisa menemukan dan memperjuangkan untuk meraih tujuan hidup saya. Apa rencana saya ke depan. Apa rencana cadangan saya jika rencana utama batal. Apa rencana cadangan dari rencana cadangan saya. Apa tai-tai ke depannya yang akan saya alami. Apa antidote saya menghadapi tai-tai itu.
Ya!
Saya Ingin Merayakannya!
Lebih dari itu semua, saya ingin merayakan bahwa di usia 23 tahun ini berarti saya mesti siap untuk menerima tantangan dan cobaan lainnya yang tentu akan mengalami eskalasi dari tingkat yang sudah pernah alami sebelumnya. Saya Ingin Merayakannya!
Saya Ingin Merayakannya! Dengan cara yang sederhana. Dengan sedikit tegukan vodka. Dengan sedikit kegelisahan yang saya tuangkan dalam tulisan saya. Dengan perjalanan-perjalanan yang akan saya arungi. Dengan terus membuka mata dan hati saya. Dengan terus berekspektasi.

Bukankah berekspektasi, apalagi berekspektasi tinggi, itu tidak baik? Setidaknya Anda harus berani berekspektasi, karena ketika Anda mendapatkan ekspektasi tersebut, Anda tidak akan kaget dibuatnya. Tetapi jika Anda gagal, Anda akan tahu betapa sakitnya kegagalan tersebut, dan Anda akan merasakan betapa sadomasokisnya hal tersebut! Dan Anda mungkin akan berada di level yang sama dengan yang pernah saya alami!

Dan lebih baik Anda jatuh ke level sadomasokis di usia 23 tahun untuk kemudian bisa segera bangkit, ketimbang anda menderita sadomasokis parah di usia 30 tahun. Maka, izinkan saya untuk menutup tulisan ini dengan kalimat ini:
Saya Ingin Merayakan! Bahwa saya masih bisa menyelesaikan tulisan ini. Bahwa saya pernah mengalami perasaan tak tentu rimba yang berujung pada nikmatnya mengalami sadomasokis itu sendiri. dan tentu saja Bahwa saya hari ini berusia 23 Tahun. \m/
"And that's about the time she walked away from me
Nobody loves you when your 23
And you still act like you're in Freshman year
What the hell is wrong with me?"  (Blink 182, What's My Age Again?)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

emang beneran kerasa ada gap kayak gitu setelah di kampus selama beberapa tahun?

Didit R mengatakan...

gw sih merasakan ada gap,
ah namanya juga perasaan,,
perasaan terkadang bisa menipu kan?
tapi masa iya udah 1 tahun ini gw ketipu ama perasaan? :(