15 Desember 2014

[Movie Review] Interpretasi tentang Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh (2014)

Setiap menonton dan mengalami film (experience the movie), saya selalu menetapkan suatu standard di dalam kalbu saya untuk menilai bermaknanya suatu film terhadap diri ini. Standard tersebut dapat disimpulkan menjadi suatu pertanyaan sebagai berikut:

"Apakah film yang saya tonton ini memberikan dampak psikologis terhadap perasaan saya pasca credit title muncul di layar?"

Apabila muncul suatu perasaan bangga, sedih, terluka, tertawa, dll yang sifatnya menyentuh ruang kalbu saya dan membuat saya terngiang-ngiang akan film tersebut, itulah tandanya saya tercerahkan karena "experience the movie".

Kemudian yang membuat saya kaget sendiri, saya tidak pernah menyangka saya akan dibuat terkesan dan menulis review dari film Supernova garapan Rizal Mantovani. Ada 3 poin yang saya coba tuangkan:
  1. Kenapa saya menuangkan interpretasi Supernova melalui ulasan ini? Karena saya mendapat dampak psikologis paska menonton Supernova
  2. Kenapa mendapat dampak psikologis? Karena tidak menyangka dengan tema film yang filosofis dan narasi Supernova yang nyaman untuk dicerna
  3. Kenapa bisa sampai tidak menyangka? Yah, karena ini film Indonesia (Sejujurnya saya selalu merasa inferior duluan dengan karya produksi Indonesia) dan apalagi ini diproduseri oleh Soraya Intercine Film yang notabene bagi saya jauh dari niat mengangkat tema yang filosofis untuk dijadikan suatu dasar cerita dalam produksi layar lebar
Lalu, dampak psikologis apa yang saya rasakan?

"Mencari" adalah hakikat dari kehidupan manusia.
Sampai saat tulisan ini dibuat, saya masih "mencari".
Saya coba memahami dengan skala pemikiran yang saya percayai bahwa proses "mencari" adalah suatu penggalian ke dalam diri tiada henti.
Bisa jadi akan menjadi suatu hal yang nihil jikalau proses pencarian ini terus dipikirkan tanpa mensyukuri lalu menerima dengan sikap mengalir mengenai apa saja yang saya alami tiap saatnya.
Terkait penggalian diri, maknanya dalam bagi diri saya.

Lalu, saya tidak pernah menyangka ternyata Supernova membawa kisah yang maknanya dalam untuk dikupas. Sangat jarang saya temui film apalagi film Indonesia yang mempunyai lapisan berlapis-lapis baik dalam narasi maupun ruh yang tersemat dalam cerita Supernova itu sendiri. Terakhir saya menonton film Indonesia yang membawa dampak seperti ini ke saya adalah film klasik "Apa Jang Kau Tjari, Palupi?" (1969) arahan sutradara Asrul Sani serta film dokumenter "The Look of Silence (SENYAP)" (2014) karya Joshua Oppenheimer.

Memangnya seperti apa cerita film Supernova ini?
Cerita film ini diambil dari novel karangan Dewi Lestari dengan judul yang sama.
Kabarnya novel ini merupakan best-seller di jamannya. Karena saya bukanlah seorang yang rajin membaca novel, sudah tentu saya hanya pernah mendengar judul novelnya saja tanpa tahu apa isinya.
Jadi saya benar-benar menikmati narasi yang disodorkan oleh pembuat film tanpa ada ekspektasi apapun.
Secara singkat cerita mengalir dari Dimas dan Reuben yang bertemu di Washington karena suatu kebetulan, kemudian mereka berjanji akan membuat suatu tulisan mahakarya 10 tahun selepas pertemuan tersebut. Akhirnya mereka benar-benar membuat tulisan itu. 3 karakter utama dengan peran sebagai Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh yang dipersatukan oleh suatu Avatar di internet yaitu Supernova. Sinopsis lengkapnya tentu bisa googling, karena saya tidak akan membahas terlalu lama di sini.

Film ini bagi saya adalah tentang penggalian makna hidup yang direngkuh melalui pahitnya dampak suatu hubungan. Bahwasanya Ksatria berharap mendapat setiitk kebahagiaan yang sudah lama diidamkan dalam hidupnya, tetapi kenyataan hanya menawarkan hal pahit:

Ksatria tidak bisa mendapatkan Putri, kemudian mempertanyakan apa artinya dia mesti hidup dalam kehidupan yang penuh dengan duka bagi dirinya. Dari pertanyaan- pertanyaan yang diajukan melalui korespondensi di dunia maya itulah akhirnya Ksatria bertemu dengan Supernova. 

Supernova adalah cerminan diri Ksatria.

Saya coba resapi dengan perspektif ini:


Manusia tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan, kemudian mempertanyakan apa artinya dia mesti hidup dalam kehidupan yang penuh dengan duka bagi dirinya. Dari pertanyaan- pertanyaan yang diajukan melalui korespondensi dalam bentuk lantunan doa itulah akhirnya Manusia "bertemu" dengan Dia. 

Manusia adalah cerminan diri Dia.

========================================================

Sangat jarang saya bisa berpikir sampai sejauh ini hanya karena film Indonesia.
Butuh cerita dan skenario yang kuat dan juga butuh karakter yang dapat kita relasikan serta dipahami agar mencapai suatu titik simpati mendalam.
Itulah yang bisa dicapai oleh film Supernova ke dalam diri saya.

Saya menikmati narasi dari film ini.
Saya tidak akan membahas segala kekurangan yang ada, saya akan fokus terhadap nilai spesial yang ditawarkan oleh film Supernova.

Kisah yang dibangun Dimas dan Reuben yang berkembang dalam diri Ferre, Rana, Arwin, dan juga Diva.
Dengan dialog yang nampaknya dicomot dari novelnya oleh penulis skenario Donny Dirghantara, menghasilkan suatu dialog dengan bahasa Indonesia yang amat sangat baku dan diksi yang jarang saya temui. Contohnya adalah Bifurkasi; kata yang jarang saya dengar dalam pergaulan sehari-hari.
Tetapi saya tidak terganggu dengan hal ini, malahan saya serasa mengalami 2 jam yang membuat saya mengagumi betapa kayanya ragam berbahasa Indonesia.

Visual yang memanjakan mata. Pemilihan lokasi shooting yang asyik. Saya menikmati Pesudo Jakarta yang dipresentasikan oleh Rizal Mantovani. Rumah Ferre di pinggir tebing yang langsung berbataskan dengan  laut yang indah. Ferre dan Rana memadu kasih di atas pesiar dengan latar laut tersebut. Adegan pernikahan Rana yang digarap dengan detail yang baik. Ferrari milik Ferre. Diva dengan keanggunannya melenggok di atas catwalk dan di kamar hotel...

Adegan animasi yang disisipkan juga sangat baik untuk ukuran film Indonesia. Film ini nilai produksinya mahal. Kabarnya dana produksi film ini mencapai Rp 20M, nilai yang fantastis mengingat untuk balik modal saja butuh 1 juta penonton untuk mencapainya.

Herjunot sebagai Ferre mampu memamerkan dimensi Ferre yang menutupi kerapuhannya dengan kompleks. Bukan hal mudah memainkan karakter yang penuh luka dalam hidupnya kemudian menunjukkan sisi kuatnya dalam kehidupan sehari-hari untuk kemudian meluruh ketika bertemu dan menjalin hubungan dengan sang Putri: Rana.

Raline Shah sebagai Rana juga mampu menunjukkan kegelisahannya dalam menatap realita hidupnya yang serba terjepit oleh keputusan-keputusannya di masa lalu. Getir dalam kehidupan pernikahannya yang tidak sesuai ekspektasi dan menutupinya dengan pemahaman "Semua baik-baik saja bersama Arwin. Suami yang sangat mencintai diriku... tapi tidak dengan cara yang tepat.... tapi setidaknya semua harus baik-baik saja"

Fedy Nuril sebagai Arwin.. Tatap matanya yang memendam amarah bercampur dengan pedihnya dikhianati... Ditunjukkannya dengan baik dengan gestur dan caranya mengucapkan dialog demi dialog apalagi ketika bagian Arwin memeluk Rana di saat momen kejujuran.

Paula Verhoven sebagai Diva.. Titik lemah di film ini..Kaku layaknya otot yang tidak pernah dilatih keluwesannya... Dia lebih cocok sebagai model daripada sebagai aktris... Andaikan dialog final di kala Ferre dan Supernova bertemu di kamar server komputer disampaikan dengan Diva dengan nuansa yang dinamis, maka saya yakin adegan itu harusnya bisa jadi klimaks yang mampu membawa penonton dengan kadar emosi yang tepat untuk mencerna secara implisit tentang apa itu Supernova... Sayang sekali, Diva membawakannya dengan datar,,,,

Peramu dari segala produksi film ini adalah Ram Soraya dan juga anaknya: Sunil Soraya dalam naungan rumah produksi Soraya Intercine Film yang mulai rutin memproduksi film yang diangkat dari novel best seller mulai dari "5cm" (2012) dan "Tenggelamnya Kapal van Der Wijck" (2013). Menurut saya di tiap produksinya, Soraya Film selalu memperbaiki performanya paling kentara dari segi teknis. Teringatlah saya akan van der wijck yang gradasi warnanya berubah ubah dari awal sampai akhir film...

Bagaimanapun, saya salut dengan keberanian Soraya Film untuk mengangkat novel-novel yang punya "nilai".
Supernova adalah anak dari Dewi Lestari yang spesial.
Butuh keberanian berupa nyali, uang yang sangat banyak (tentu tidak ada jaminan balik modal di industri perfilman Indonesia yang punya risiko investasi yang tinggi), dan orang-orang produksi yang punya otak kreatif yang sanggup berpikir di luar kotak untuk memfilmkan Supernova secara estetis dan juga punya nilai komersial.

Menurut saya Supernova mencapai titik tersebut serta mampu membuat saya terus terngiang 2 hari setelah menontonnya di layar lebar XXI.

Rasanya tiket yang saya beli serta tepukan tangan saya di akhir pemutaran film ini kurang cukup untuk mengapresiasi betapa spesialnya film ini.

Untuk itulah saya ingin mengapresiasi melalui tulisan yang sederhana ini :)

Segeralah tonton Supernova kala masih ada di layar bioskop nasional, film ini adalah yang orang Indonesia butuhkan. Di saat masih banyak yang protes dan sinis terhadap film Indonesia dan koar-koar minta dibikinin film yang bagus (dan juga membuat berpikir), Soraya Film menjawabnya dengan Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh.

Sebuah karya yang saya tunggu untuk diproduksi oleh sineas Indonesia.
Tidak ragu saya mengatakan ini adalah film Indonesia terbaik yang saya tonton sepanjang tahun 2014.



5 komentar:

Zaki Pstp mengatakan...

Mantab sekali! Gara-gara ini keinginan nonton jadi timbul lagi. Kemarin2 itu pada banyak yang review negatif gitu, soalnya kan pada baca versi novelnya? jadi pada di luar ekspektasi (kalau mau enggak di luar ekspektasi dijadiin kyk game of thrones aja ya).

Minggu ini saya akan ke bioskop. Terima kasih sudah berbagi berita positif! Fedy Nuril! Tunggu aku!!

Didit R mengatakan...

Pada dasarnya Novel dan Film adalah 2 medium yang berbeda. Sama seperti halnya jangan membandingan Harry Potter novelnya dengan filmnya. Karena di Novel yang memvisualisasi adalah masing-masing pembaca, di film adalah kerjanya sutradara dan produser. Hehehe.

Selamat menikmati Supernova :)

~ jessie ~ mengatakan...

Saya membaca novelnya, tapi saya juga menikmati film ini dengan lapang dada. Sehingga saya mencapai titik untuk menyadari bahwa sungguh nikmat menonton film tanpa ekspektasi apapun. Tapi saya kurang setuju dengan mas Didit mengenai Diva. Dalam bayangan saya, Diva lebih pas seperti itu. Tanpa emosi. Jika saya punya hak untuk mengganti pemain, yang ingin saya ganti adalah Raline Shah. Dan jika saya juga punya hak untuk merevisi adegan, maka yang ingin saya revisi adalah adegan mesra-nya Ferre dan Rana. So awkward! Yama Carlos dan Sophia Latjuba dalam Cicak di Dinding-nya film Rectoverso masih sangat unggul untuk adegan 'macam' beginian. :)

Didit R mengatakan...

Sepakat banget untuk Ferre dan Rana yang serasa canggung sebagai sepasang kekasih. Nampaknya, Herjunot dan Raline gak ketemu chemistry-nya sebagai pasangan kekasih sih ya...

Rectoverso akan coba saya cari sebagai pembanding. hehehe :)

Terima kasih ya komentarnya

zohrahs mengatakan...

Menurut saya yang membuat banyak orang berkomentar negatif terhadap film ini bukan karena ekspektasi akan sama dengan novelnya. Tapi karena pemainnya tidak berhasil berakting dan penulis skenarionya terlalu drama.
Izin berbagi tulisan saya mengenai “membaca” film supernova http://zohrahs.tumblr.com/post/106228249070/membaca-supernova